Esei Tentang Korupsi (4 - Tamat)

Fokus dan Strategi Penanggulangan

Sebagaimana telah cukup diketahui oleh banyak pihak, pendekatan penanggulangan korupsi di Indonesia dewasa ini dilakukan melalui upaya-upaya preventif dan kuratif--melalui dua ujung tombak kembar bernama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Keterbukaan dan pengurangan insentif terhadap niat berkorupsi termasuk dalam jenis pertama, sedangkan proses pembuktian dan upaya peradilan atas tuduhan korupsi termasuk jenis kedua.

Sosialiasi keburukan korupsi juga merupakan tindakan preventif berupa pendidikan dan suasi moral bagi masyarakat. Yang perlu ditekankan di sini adalah pentingnya pemahaman yang tidak monokrom terhadap korupsi. Karena, selain multi-warna, efek korupsi secara ekonomi dan sosial efek berbeda dari, misalnya, efek kemacetan lalu lintas yang cenderung gamblang dan kasat mata akibat aneka pelanggaran dalam berkendara. Pelumpuhan dan kelumpuhan akibat korupsi, ibarat kanker yang tampaknya jinak, padahal ganas.

Strategi preventif KPK dilakukan antara lain dengan mewajibkan pejabat negara dan pegawai negeri untuk melaporkan kekayaannya, dan memberikan pernyataan di bawah sumpah (statutory declaration). Secara kuratif, KPK diperkuat dengan pengadilan Tipikor mengadakan investigasi dan pembuktian atas tuduhan korupsi serta penjatuhan sanksi.

Aswicahyono (ibid) telah membahas dua langkah menarik untuk menanggulangi korupsi. Pertama, gaji pegawai negeri sipil perlu dinaikkan sehingga biaya korupsi meningkat. Kedua, yang dianggapnya lebih ”mendekati kebenaran”, adalah meningkatkan probabilitas tertangkapnya sang pelaku. Cost of corruption atau biaya korupsi tergantung probabilitas tertangkap/dipecat. Bila probabilitasnya=0, maka biaya pun nol, dan korupsi akan terjadi berapa pun gaji PNS.

Apakah jika probabilitas tertangkap sama dengan nol maka semua orang otomatis akan melakukan korupsi? Mungkinkah orang tidak korupsi meskipun probabilitasnya rendah atau nol?

Kedua pendekatan solusi ini penting; namun, Aswicahyono meletakkan keduanya secara berhadapan dalam hubungan yang kompetitif, dan hal ini perlu dikoreksi. Alasannya, kedua solusi tersebut tidak bersifat mengecualikan satu sama lain (mutually distributive); keduanya dapat diterima sebagai solusi yang saling melengkapi (mutually complementary). Perlu senantiasa diingat, baik sendiri maupun secara bersama-sama, kedua pendekatan solusi korupsi masih belum memadai.

Jika kita percaya bahwa ada sebagian orang tetap tidak akan mengorupsi sekalipun probabilitas tertangkapnya adalah nol, kita dapat meyakini adanya faktor/motivasi lain selain faktor/motivasi ekonomi.

*

Perbedaan utama antara KBB dan KBP, dalam skala yang masif, terletak pada unsur P—yaitu, pemerintah. Posisi superior pemerintah dengan segala kekuasaannya memungkinkannya untuk mengubah aturan permainan. Pemerintah dapat memonopoli jasa-jasa tertentu dan dalam pemberian kontrak-kontrak proyek; namun, lebih penting dari itu, pemerintah juga mengontrol institusi-institusi pengatur aktivitas pasar. Dengan kata lain, sesungguhnya praktik korupsi paling destruktif dan paling buruk justru dapat terjadi ketika oknum pemerintah terlibat di dalamnya.

Praktik korupsi yang harus mendapat sorotan utama di Indonesia adalah jenis KBP, di mana yang dominan dalam hubungan KBP ini justru pemerintah. Oleh karena itu, usaha memerangi praktik korupsi sangat tergantung pada reformasi tubuh pemerintahan. Secara konkret, yang mendesak diperlukan di Indonesia adalah reformasi pegawai negeri sipil (PNS).

Sulit dipungkiri, kontrol atau intervensi pemerintah terhadap perekonomian selama ini justru telah menghasilkan korupsi yang masif. Oleh karena itu, campur tangan-pemerintah yang lebih besar lagi, meskipun atas nama penanganan korupsi sekalipun, adalah hal yang perlu dihindari. Sifat korupsi melekat pada kekuasaan, sebagaimana tercermin dalam sebuah ungkapan klise: ”Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely.”
Oleh karena itu, jika suatu pemerintah benar-benar serius hendak menanggulangi korupsi, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah mereformasi dirinya sendiri. Kwik Kian Gie secara khusus mengatakan, sebaiknya dimulai dari para pejabat tinggi. Menurut hemat saya, memulainya dengan cara menaikkan martabat PNS melalui perbaikan sistem PNS akan jauh lebih mudah; karena menunjuk hidung koruptor dan membawanya ke pengadilan hanyalah satu cara. Pemerintah justru harus memperkecil intervensinya dengan cara merampingkan badan. Dalam satu kata, solusi sederhana ini berbunyi: simplify!(*)

SUMBER:
• Ari Perdana, ”Mungkinkah Korupsi Optimal?”, Kompas, 19 Oktober 2006.
• Aswin Aswicahyono, ”Ekonomi Korupsi”, Kompas, 12 Desember 2004.
• Francois Melese. “The Problem of Corruption,” dalam The Free Market Journal, Juni 2002, Volume 20, no. 6.
• Garry Goodpaster, “Reflections on Corruption” 2001.
• Ludwig von Mises, Bureaucracy, 1983.
• Ludwig von Mises, Human Action, Revised Edition, 1963.
• Murray N. Rothbard, Man, Economy and State, 1985.
• Pemberantasan Korupsi, Ed. II, Kwik Kian Gie, 2003.
• Salahuddin Wahid, ”Ramadhan, Dirindukan Kadang Disia-Siakan”, Kompas 19 Oktober, 2006
• Taufiequrachman Ruki, ”Jurus Alternatif Menangkal Korupsi,” Koran Tempo, 28 Pebruari 2006

No comments: