Nothing

I

had nothing to post about, so I let it overcome me, and as far as I remember, this is my second impasse in my blogging pastime.

This time, though, I conditioned myself that I think up of some plausible reason as I went about blogging about Nothing. (Hey, don't be downhearted! Think of a future reputation: A blogger who posted about Nothing--twice!.)

My reasons are as follows:

First, I must confess I'm pretty good at doing Nothing. Second, I believe other bloggers, too, must have a lot of Nothings to post about, or come to a point with nothing to say. Besides, I imagine that at this very moment someone at the other end precisely at the point of wanting to read about Nothing. Something of a double coincidence of irony, nevertheless—I hope you bloghopper, whoever you are, wouldn’t mind.

Since Pluto was nothing of a planet, some people might have been disturbed. Well, I have. If I ended up trying to talk about Nothing, empirically, it might have been attributable to the failed planet.

To those who believe in empiricism, Nothing is more serious than it appears. The foundation of science is based on empiricism. It may be shocking to realize that at the heart of its very doctrine spreads an abyss of Nothing: nihilism; duh, “shocking” may be too harsh a word. But in any case, according to empiricism, scientific theories are not valid that can be falsified. All theories that are, are but temporary so until they are falsified. I think this is the point of immense oddity. If the purpose of science is to bring human kind to Knowledge, why have we chosen ourselves to (be led to) believe in the system that does not allow us to believe? We are only permitted to postpone falsification, at best. Such philosophers as Karl Popper let us two choices only: utter denial, or perennial Postponement. There is no arrival.

Nothing whatsoever! Thus most of us are people roaming about this Earth with a pair of double lensed glasses--one red and full of Falsification, the other reddish imbued with Postponement. We are disadvantaged—but we have been greatly biased by our own device. No matter what we see in this way, the living or the inanimate must be of reddish complexion. It is impossible for them to be otherwise. Why doesn’t it occur that we might as well take them off and see with Nothing filtering our eyes?

Esei Tentang Korupsi (4 - Tamat)

Fokus dan Strategi Penanggulangan

Sebagaimana telah cukup diketahui oleh banyak pihak, pendekatan penanggulangan korupsi di Indonesia dewasa ini dilakukan melalui upaya-upaya preventif dan kuratif--melalui dua ujung tombak kembar bernama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Keterbukaan dan pengurangan insentif terhadap niat berkorupsi termasuk dalam jenis pertama, sedangkan proses pembuktian dan upaya peradilan atas tuduhan korupsi termasuk jenis kedua.

Sosialiasi keburukan korupsi juga merupakan tindakan preventif berupa pendidikan dan suasi moral bagi masyarakat. Yang perlu ditekankan di sini adalah pentingnya pemahaman yang tidak monokrom terhadap korupsi. Karena, selain multi-warna, efek korupsi secara ekonomi dan sosial efek berbeda dari, misalnya, efek kemacetan lalu lintas yang cenderung gamblang dan kasat mata akibat aneka pelanggaran dalam berkendara. Pelumpuhan dan kelumpuhan akibat korupsi, ibarat kanker yang tampaknya jinak, padahal ganas.

Strategi preventif KPK dilakukan antara lain dengan mewajibkan pejabat negara dan pegawai negeri untuk melaporkan kekayaannya, dan memberikan pernyataan di bawah sumpah (statutory declaration). Secara kuratif, KPK diperkuat dengan pengadilan Tipikor mengadakan investigasi dan pembuktian atas tuduhan korupsi serta penjatuhan sanksi.

Aswicahyono (ibid) telah membahas dua langkah menarik untuk menanggulangi korupsi. Pertama, gaji pegawai negeri sipil perlu dinaikkan sehingga biaya korupsi meningkat. Kedua, yang dianggapnya lebih ”mendekati kebenaran”, adalah meningkatkan probabilitas tertangkapnya sang pelaku. Cost of corruption atau biaya korupsi tergantung probabilitas tertangkap/dipecat. Bila probabilitasnya=0, maka biaya pun nol, dan korupsi akan terjadi berapa pun gaji PNS.

Apakah jika probabilitas tertangkap sama dengan nol maka semua orang otomatis akan melakukan korupsi? Mungkinkah orang tidak korupsi meskipun probabilitasnya rendah atau nol?

Kedua pendekatan solusi ini penting; namun, Aswicahyono meletakkan keduanya secara berhadapan dalam hubungan yang kompetitif, dan hal ini perlu dikoreksi. Alasannya, kedua solusi tersebut tidak bersifat mengecualikan satu sama lain (mutually distributive); keduanya dapat diterima sebagai solusi yang saling melengkapi (mutually complementary). Perlu senantiasa diingat, baik sendiri maupun secara bersama-sama, kedua pendekatan solusi korupsi masih belum memadai.

Jika kita percaya bahwa ada sebagian orang tetap tidak akan mengorupsi sekalipun probabilitas tertangkapnya adalah nol, kita dapat meyakini adanya faktor/motivasi lain selain faktor/motivasi ekonomi.

*

Perbedaan utama antara KBB dan KBP, dalam skala yang masif, terletak pada unsur P—yaitu, pemerintah. Posisi superior pemerintah dengan segala kekuasaannya memungkinkannya untuk mengubah aturan permainan. Pemerintah dapat memonopoli jasa-jasa tertentu dan dalam pemberian kontrak-kontrak proyek; namun, lebih penting dari itu, pemerintah juga mengontrol institusi-institusi pengatur aktivitas pasar. Dengan kata lain, sesungguhnya praktik korupsi paling destruktif dan paling buruk justru dapat terjadi ketika oknum pemerintah terlibat di dalamnya.

Praktik korupsi yang harus mendapat sorotan utama di Indonesia adalah jenis KBP, di mana yang dominan dalam hubungan KBP ini justru pemerintah. Oleh karena itu, usaha memerangi praktik korupsi sangat tergantung pada reformasi tubuh pemerintahan. Secara konkret, yang mendesak diperlukan di Indonesia adalah reformasi pegawai negeri sipil (PNS).

Sulit dipungkiri, kontrol atau intervensi pemerintah terhadap perekonomian selama ini justru telah menghasilkan korupsi yang masif. Oleh karena itu, campur tangan-pemerintah yang lebih besar lagi, meskipun atas nama penanganan korupsi sekalipun, adalah hal yang perlu dihindari. Sifat korupsi melekat pada kekuasaan, sebagaimana tercermin dalam sebuah ungkapan klise: ”Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely.”
Oleh karena itu, jika suatu pemerintah benar-benar serius hendak menanggulangi korupsi, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah mereformasi dirinya sendiri. Kwik Kian Gie secara khusus mengatakan, sebaiknya dimulai dari para pejabat tinggi. Menurut hemat saya, memulainya dengan cara menaikkan martabat PNS melalui perbaikan sistem PNS akan jauh lebih mudah; karena menunjuk hidung koruptor dan membawanya ke pengadilan hanyalah satu cara. Pemerintah justru harus memperkecil intervensinya dengan cara merampingkan badan. Dalam satu kata, solusi sederhana ini berbunyi: simplify!(*)

SUMBER:
• Ari Perdana, ”Mungkinkah Korupsi Optimal?”, Kompas, 19 Oktober 2006.
• Aswin Aswicahyono, ”Ekonomi Korupsi”, Kompas, 12 Desember 2004.
• Francois Melese. “The Problem of Corruption,” dalam The Free Market Journal, Juni 2002, Volume 20, no. 6.
• Garry Goodpaster, “Reflections on Corruption” 2001.
• Ludwig von Mises, Bureaucracy, 1983.
• Ludwig von Mises, Human Action, Revised Edition, 1963.
• Murray N. Rothbard, Man, Economy and State, 1985.
• Pemberantasan Korupsi, Ed. II, Kwik Kian Gie, 2003.
• Salahuddin Wahid, ”Ramadhan, Dirindukan Kadang Disia-Siakan”, Kompas 19 Oktober, 2006
• Taufiequrachman Ruki, ”Jurus Alternatif Menangkal Korupsi,” Koran Tempo, 28 Pebruari 2006

Esei Tentang Korupsi (3)

Dua Macam Korupsi

Dalam interaksi ekonomi di negara manapun, perlu dibedakan dua macam praktik korupsi: praktik yang dilakukan sesama pelaku bisnis (korupsi antara satu pelaku bisnis dengan pelaku lain atau KBB), dan praktik yang melibatkan pengusaha dengan pemerintah (korupsi antara bisnis dan pemerintah atau KBP). Dikotomi yang tampaknya sederhana ini ternyata amat vital bagi pemilihan fokus dan strategi suatu bangsa dalam perjuangan menanggulangi korupsi.

KBB, dalam bentuknya yang paling ringan, dapat berupa praktik-praktik suap untuk memperlicin jalan atau proses bisnis. Adalah perkara biasa jika pengusaha menyediakan sejumlah fasilitas kepada pengusaha calon mitranya. Motif ekonominya jelas: untuk menekan biaya formal yang dianggap lebih besar untuk suatu tujuan ekonomi. Pertimbangannya pun lugas: semua biaya KBB diharapkan terbayar melalui manfaat yang diterima perusahaan kelak. Praktik korupsi dalam pengertian ini dipandang sebagai ”pelumas roda usaha.”

Sedangkan dalam wujud terburuknya, praktik KBB menghasilkan keuntungan pribadi bagi pelakunya tanpa kehadiran padanan keuntungan bagi perusahaan. Di sini pelaku tersebut ibarat seekor ”tikus” yang menggerogoti keuntungan perusahaan. Dalam hal ini, pelaku korupsi dan perusahaan tempatnya bekerja dianggap sebagai pihak-pihak yang berbeda. Jika perusahaan tersebut dimiliki publik, maka yang menderita kerugian adalah pemegang saham. Namun demikian, dalam konteks perusahaan sudah terdapat mekanisme internal untuk mengawasi dan mengatasi perkara semacam itu, sehingga dapat dikatakan KBB relatif tidak terlalu mengkhawatirkan bagi, dan dapat diabaikan oleh, masyarakat.

Sebaliknya, praktik KBP menghasilkan keuntungan pribadi bagi pebisnis dan pejabat yang terlibat sambil di saat yang sama menimbulkan kerugian bagi perusahaan pesaing serta masyarakat luas. Aswicahyono (Kompas, 12/12/03) menunjukkan dengan baik betapa kerugian yang ditimbulkan KBP bukanlah sekadar redistribusi transfer; selain merugikan negara dalam hal pajak, KBP juga menimbulkan biaya ekstra (mis. untuk pengawasan korupsi), pemburuan keuntungan melalui rente (melobi pemerintah agar membuat kebijakan yang menguntungkan pihak tertentu), misalokasi sumber daya, inefisiensi ekonomi, hingga penurunan produktivitas nasional.

(Bersambung: Fokus & Strategi Penanggulangan)

Esei Tentang Korupsi (2)

Miskonsepsi Seputar Korupsi

Kekeliruan no. 1: Dari sudut manapun korupsi adalah buruk.

Kata ”buruk” di sini dapat diartikan sebagai ”merugikan,” sehingga kalimat tersebut dapat dinyatakan sebagai ”Dari sudut manapun korupsi itu merugikan.” Kiranya dapat dipahami dari telaah di atas, mengapa korupsi terus saja dilakukan oleh umat manusia manapun, di manapun dalam era manapun. Dari benua Amerika hingga Afrika, sejak jaman Bizantium hingga posmo, korupsi adalah tindakan yang normal, manusiawi, dan bukan penyimpangan. Korupsi tidak dapat dihindari dalam sistem politik dan ekonomi apapun yang dianut suatu bangsa. Absennya praktik korupsi justru merupakan anomali yang mungkin tidak ada tempatnya di dunia ini (Goodpaster, 2001).

Sistem legal formal di hampir semua negara memang dengan tegas menyatakan tindakan korupsi sebagai tindak pidana yang dapat dikenakan sanksi. Namun, mustahil bagi kita untuk memungkiri fakta bahwa bagi sebagian individu, korupsi adalah cara memeroleh nafkah; cara bertahan hidup; bahkan cara meningkatkan kualitas hidup. Korupsi jelas tidak dapat selalu dianggap buruk. Bagi individu koruptor dan keluarganya, korupsi jelas bermanfaat.

Kekeliruan no. 2: Korupsi dapat menjadi optimal.

Dapatkah korupsi menjadi optimal? Apakah korupsi di Indonesia sudah optimal? Penggunaan kata-kata semacam ”optimal, optimasi, optimistik” yang berkonotasi positif, untuk memerikan tingkat korupsi, terasa provokatif dan tidak tepat. Sama tidak lazimnya bagi kita untuk mengatakan, misalnya: Berapa tingkat aborsi yang optimal? Berapa jumlah optimal korban kecelakaan di jalan tol, atau berapa tingkat pencurian optimal di suatu terminal bis? Yang sering dipakai orang: ”Berapa tingkat optimal keuntungan ekspor? Bagaimana mengoptimalkan program wajib belajar? Atau hal-hal positif lainnya.

Selain itu, eksistensi suatu bangsa tidaklah untuk menjadi bangsa korup, karena memang bukan demikian tujuan berbangsa—demikian pula tujuan bangsa Indonesia, seperti dalam pembukaan UUD 45.

Kekeliruan no. 3: Pemberantasan korupsi justru merugikan.

Kekeliruan ini dapat dianggap sebagai variasi kekeliruan sebelumnya, tetapi di sini diperlakukan terpisah. Memang, selalu ada pihak yang menyatakan bahwa biaya pemberantasan korupsi dapat menjadi lebih besar dari keuntungan potensial yang bisa diraih. Selalu ada yang menyayangkan bahwa upaya pemberantasan korupsi dapat menghambat pertumbuhan. Namun pandangan semacam ini naif dan picik. Dari sudut pandang ilmu ekonomi, pandangan tersebut hanya dapat diterima melalui penyederhanaan yang ketat dan pemahaman yang sempit.

Mengapa? Karena kebijakan nasional bukanlah untuk jangka pendek semata, melainkan, bahkan yang lebih penting, untuk jangka panjang. Kebijakan nasional yang baik merangkul kepentingan sebanyak mungkin--jika bukan semua--golongan, bukan cuma segolongan saja. Upaya menyejahterakan bangsa perlu berjalan terus; itu alasannya mengapa, misalnya, tingkat polusi harus ditekan meskipun secara ekonomi dianggap tidak menguntungkan, paling tidak dalam jangka pendek.

Kemaslahatan dalam upaya penurunan tingkat korupsi adalah hal dapat diterima dengan mudah secara naluriah. Pada dasarnya kondisi menguntungkan yang akan dicapai tersebut berlaku universal bagi setiap individu. Dari sisi legal, etis dan moral, korupsi harus dijauhi karena melanggar hukum, melukai rasa keadilan serta kemanusiaan. Dari sudut pandang ekonomi, kebijakan yang anti korupsi cenderung memberi hasil dalam jangka menengah-panjang, sementara pihak-pihak tertentu memiliki kepentingan praktis jangka pendek.

Kekeliruan no. 4: Korupsi adalah semacam mekanisme seleksi.

Korupsi oleh sebagian orang diyakini dapat menjadi mekanisme seleksi terhadap pengusaha mana yang efisien dan yang tidak. Klaim ini selain kurang akurat juga menyesatkan. Alih-alih berfungsi sebagai mekanisme seleksi efisiensi pengusaha, praktik korupsi justru merupakan salah satu faktor yang paling bertanggungjawab terhadap inefisiensi. Mekanisme seleksi sebenarnya adalah harga. Harga di pasar berfungsi sebagai sinyal pemberi ”pengetahuan” kepada para pelaku pasar, tidak saja kepada pengusaha (enterpreneur) dalam memproduksi, melainkan juga kepada konsumen dalam mengonsumsi. Fungsi harga sebagai sinyal merupakan salah satu kontribusi terpenting pemikiran Friederich Hayek yang menjadikannya peraih Nobel di bidang ekonomi (1974).

Kekeliruan no. 5: Korupsi dapat diberantas atau dibasmi secara tuntas.

Untuk menjawabnya, pertanyaan ini perlu diubah menjadi: mengapa di sebagian tempat di muka bumi ini praktik korupsi berhasil ditekan, dan bagaimana hal tersebut dapat dilakukan dan bagaimana cara mereplikanya? Berdasarkan pemahaman praksiologis terhadap korupsi sebagaimana di atas jelas bahwa pemberantasan korupsi dalam arti peniadaan total hingga ke akarnya (atau membawanya ke titik nol) adalah misi yang mustahil, ibarat menegakkan benang basah. Yang mungkin dilakukan hanyalah mengurangi penjalarannya. Pandangan tentang korupsi semacam ini realistis, tidak pesimistis, dan bukan argumen apologis untuk mendukung praktik-praktik korup.

(Bersambung: Dua Macam Korupsi)

Esei Tentang Korupsi (1)

Posting berikut serta lanjutannya berisi esei singkat saya tentang korupsi dari sudut pandang praksiologi—disiplin ilmiah tentang tindakan manusia di mana salah satu cabang utamanya adalah ekonomi. Tujuannya adalah: 1) memberi pemahaman yang lebih utuh terhadap korupsi; 2) membahas sejumlah miskonsepsi atau kesalahan berpikir seputar korupsi; 3) membedakan dua jenis korupsi dan mengungkapkan jenis mana yang sangat berbahaya; dan, 4) apa strategi dan solusi mendasar untuk memeranginya. Sumber dan rujukan diberikan di bagian akhir.

Manusia adalah makhluk yang bertindak. Tindakannya disengaja serta bertujuan. Sebelum dikerjakan, tindakan diniatkan. Sebelum diniatkan, terlebih dahulu harus ada semacam ketidaknyamanan (uneasiness) dalam diri manusia, atau keinginan untuk mengubah keadaan. Niat juga muncul berkat adanya gambaran tentang keadaan yang (dianggap) lebih baik. Selanjutnya, niat diterjemahkan menjadi tindakan, sejauh adanya asa bahwa tindakan yang diniatkan akan berdaya, atau berjaya.

Maka seorang Otong disebut bertindak, tatkala ia menggunakan cara untuk mencapai tujuan sesuai penilaian subyektifnya. Dalam istilah ekonomi, prasyarat terjadinya tindakan direduksi menjadi: adanya keinginan (want), cara/metode (means), dan hasil/tujuan (end). Tindakan mestilah rasional, disengaja dan beralasan. Lawannya bukan perilaku irasional, melainkan respon reaktif tak terkendali—misalnya refleks otot motorik atau gerakan tak-sadar, yang tidak tergolong dalam kategori tindakan. Demikian pemahaman praksiologis terhadap tindakan manusia (Mises, 1963; Rothbard 1985).

Korupsi sebagai Tindakan

Karena semua tindakan dilakukan dengan tujuan, maka korupsi bukan pengecualian. Tindak korupsi adalah tindakan rasional, disengaja dan bertujuan. Praktiknya berbentuk pertukaran (exchange), karena semua tindakan dalam pemahaman praksiologis selalu berupa pertukaran.

Dalam segala manifestasinya berupa korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), praktik korupsi tidak mungkin terjadi secara autistik melainkan hanya dalam interaksi dengan pihak lain. Setiap praktik korupsi melibatkan hubungan transaksional, dan hubungan ini dapat bersifat setara (simetris) maupun tidak setara (a-simetris). Yang pasti, selalu ada pihak yang menderita kerugian. Dalam praktiknya, selalu ada pihak yang “berkuasa” atau memiliki ”kekuasaan” untuk memutuskan bagi orang atau pihak lain.

Dalam praktik korupsi yang dilakukan pebisnis, si pengusaha bertindak atas nama perusahaan atau para pemegang saham. Ketika dilakukan pejabat, oknum tersebut bertindak atas nama pemerintah dan, seharusnya, bagi kepentingan publik. Agar korupsi ”sukses”, prosesnya harus berlangsung tanpa terpantau secara utuh atau sempurna oleh pihak ketiga.

Terlepas dari ada atau tidaknya unsur paksaan, korupsi adalah satu pilihan metode bagi pelaku ekonomi dalam mencapai tujuannya. Mengingkari hal ini adalah mengingkari kodrat manusia sebagai individu, makhluk sosial serta makhluk ekonomi. Korupsi adalah tindakan manusiawi, karena koruptor juga manusia.

Deskripsi realistis di atas bukanlah bentuk pembelaan terhadap korupsi dan koruptor. Korupsi adalah momok yang harus diperangi. Sebagai tindakan, korupsi harus dihindari karena merugikan. Bahaya dan dampak merugikan korupsi sudah sering dibahas; namun:

1) masih banyak di antara kita yang tidak atau belum menyadarinya, atau tidak tergugah olehnya;

2) tulisan ini secara tidak langsung juga ingin menyoroti hal tersebut, yaitu dengan memberi acuan pada beberapa tulisan penulis lain.

(Bersambung: Miskonsepsi Seputar Korupsi)

Socialism, Capitalism and Islamism

Some thinkers have viewed and likened Socialism in the beginning of the last century to Islamism in the dawn of the century we are currently in. According to their view, Islamism—as an economic system, that is—is destined to fall down.

Indeed, there seems to be a stark resemblance with the emergences of socialism and Islamism in their respective epoch. But as history notes, both the view and the analogy are weak, inapt, and invalid.

In between these two isms, there has stood Capitalism. While it is true that Islamism as a socio-economic system long predated the two, its so-called modern Islamic financial system emerged only recently--arguably with the experiments in Pakistan and Iran.

The core of the Islamic views on banking and financing in its modern state, however, is as good as old, dating to the era of the jihbizs (individual bankers) and the Prophet (pbuh).

The case was different with Socialim. One needs only to go back to the very fundamental factor that explains why this economic system, such as the one practiced in the former USSR, North Korea, and Mao's China, has failed : the absence of market as well as the necessary prerequisitary market mechanism (eg. for calculation of prices and profits), as a result of grave errors of denying private property, and more importantly—human beings as individuals.

The major difference lies in the fact that Capitalism and Islamism do not conflict with each other. This may sound a bit surprising or counter-intuititive to one not familiar with either of the isms under question. It may sound rather too loud an assertion; but it really does not, because not only can they live side by side, they have been so; especially today with more and more sharia compliant products entering the capital market.

Revisitation to the basic tenets of the former and a comparative look at the religiously-sanctioned Islamic teachings on social exchanges (muamalah) will not only be refreshing and interesting, but also crucially important.

However, that said, there is one other thing in common. Both Capitalism and Islamism have been seriously and regrettably mistaken and misunderstood. I cannot venture that one same power has been attacking these two great isms. But the damages it has caused seem akin.