Posting berikut serta lanjutannya berisi esei singkat saya tentang korupsi dari sudut pandang praksiologi—disiplin ilmiah tentang tindakan manusia di mana salah satu cabang utamanya adalah ekonomi. Tujuannya adalah: 1) memberi pemahaman yang lebih utuh terhadap korupsi; 2) membahas sejumlah miskonsepsi atau kesalahan berpikir seputar korupsi; 3) membedakan dua jenis korupsi dan mengungkapkan jenis mana yang sangat berbahaya; dan, 4) apa strategi dan solusi mendasar untuk memeranginya. Sumber dan rujukan diberikan di bagian akhir.
Manusia adalah makhluk yang bertindak. Tindakannya disengaja serta bertujuan. Sebelum dikerjakan, tindakan diniatkan. Sebelum diniatkan, terlebih dahulu harus ada semacam ketidaknyamanan (uneasiness) dalam diri manusia, atau keinginan untuk mengubah keadaan. Niat juga muncul berkat adanya gambaran tentang keadaan yang (dianggap) lebih baik. Selanjutnya, niat diterjemahkan menjadi tindakan, sejauh adanya asa bahwa tindakan yang diniatkan akan berdaya, atau berjaya.
Maka seorang Otong disebut bertindak, tatkala ia menggunakan cara untuk mencapai tujuan sesuai penilaian subyektifnya. Dalam istilah ekonomi, prasyarat terjadinya tindakan direduksi menjadi: adanya keinginan (want), cara/metode (means), dan hasil/tujuan (end). Tindakan mestilah rasional, disengaja dan beralasan. Lawannya bukan perilaku irasional, melainkan respon reaktif tak terkendali—misalnya refleks otot motorik atau gerakan tak-sadar, yang tidak tergolong dalam kategori tindakan. Demikian pemahaman praksiologis terhadap tindakan manusia (Mises, 1963; Rothbard 1985).
Korupsi sebagai Tindakan
Karena semua tindakan dilakukan dengan tujuan, maka korupsi bukan pengecualian. Tindak korupsi adalah tindakan rasional, disengaja dan bertujuan. Praktiknya berbentuk pertukaran (exchange), karena semua tindakan dalam pemahaman praksiologis selalu berupa pertukaran.
Dalam segala manifestasinya berupa korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), praktik korupsi tidak mungkin terjadi secara autistik melainkan hanya dalam interaksi dengan pihak lain. Setiap praktik korupsi melibatkan hubungan transaksional, dan hubungan ini dapat bersifat setara (simetris) maupun tidak setara (a-simetris). Yang pasti, selalu ada pihak yang menderita kerugian. Dalam praktiknya, selalu ada pihak yang “berkuasa” atau memiliki ”kekuasaan” untuk memutuskan bagi orang atau pihak lain.
Dalam praktik korupsi yang dilakukan pebisnis, si pengusaha bertindak atas nama perusahaan atau para pemegang saham. Ketika dilakukan pejabat, oknum tersebut bertindak atas nama pemerintah dan, seharusnya, bagi kepentingan publik. Agar korupsi ”sukses”, prosesnya harus berlangsung tanpa terpantau secara utuh atau sempurna oleh pihak ketiga.
Terlepas dari ada atau tidaknya unsur paksaan, korupsi adalah satu pilihan metode bagi pelaku ekonomi dalam mencapai tujuannya. Mengingkari hal ini adalah mengingkari kodrat manusia sebagai individu, makhluk sosial serta makhluk ekonomi. Korupsi adalah tindakan manusiawi, karena koruptor juga manusia.
Deskripsi realistis di atas bukanlah bentuk pembelaan terhadap korupsi dan koruptor. Korupsi adalah momok yang harus diperangi. Sebagai tindakan, korupsi harus dihindari karena merugikan. Bahaya dan dampak merugikan korupsi sudah sering dibahas; namun:
1) masih banyak di antara kita yang tidak atau belum menyadarinya, atau tidak tergugah olehnya;
2) tulisan ini secara tidak langsung juga ingin menyoroti hal tersebut, yaitu dengan memberi acuan pada beberapa tulisan penulis lain.
(Bersambung: Miskonsepsi Seputar Korupsi)
No comments:
Post a Comment