PDB dan Pertumbuhan Ekonomi (2 - Tamat)

Bagian pertama dari tulisan ini menjelaskan apa sebenarnya yang secara populer dikenal sebagai PDB dan pertumbuhan ekonomi. Dijelaskan, apa saja konsep dasar dan prinsip utama yang penting untuk memahami statistik-statistik nasional tersebut, dan mengapa pemerintah memerlukannya. Menurut penulis, asumsi dan prinsip dasar yang dipakai dalam perhitungan pertumbuhan ekonomi sangat problematis sehingga perhitungannya rawan terhadap berbagai macam distorsi yang tidak sepatutnya diabaikan.

Seperti dijelaskan dalam buku teks IMF, Financial Programming, perbaikan peningkatan kualitas barang juga tidak dapat direfleksikan dengan baik dalam akunting nasional. Contoh klasiknya adalah komputer, yang harganya cenderung turun meskipun kualitasnya membaik. Dalam hal ini, kontribusi teknologi dalam peningkatan kualitas barang/jasa, yang sebenarnya meningkatkan utilitas dan dengan demikian meningkatkan standar hidup manusia, tidak dapat diukur dalam PDB. Di sisi lain, banyak produk barang/jasa produksi berkualitas rendah, sehingga masyarakat harus membeli lagi dan lagi walaupun tingkat kepuasan mereka tidak meningkat. Sementara PDB diyakini sebagai ukuran standar hidup, tindakan ekonomi semacam ini akan meningkatkan PDB tanpa ada kontribusinya terhadap peningkatan kepuasan atau standar hidup.

Salah satu alasan mengapa pendapatan nasional disebut bruto adalah karena PDB ikut menghitung aktivitas yang tidak menghasilkan perubahan fisikal secara netto. Upaya pembangunan kembali rumah penduduk Aceh yang dilantak tsunami, misalnya, akan terhitung dalam PDB dan menyiratkan peningkatan standar hidup rakyat, meskipun apa yang dilakukan sebagian penduduk Aceh adalah merestorasi apa yang musnah. Dari contoh ini terlihat bahwa perhitungan PDB cenderung bias dalam menilai terlalu tinggi (overestimate) standar hidup.

Perdagangan lintas-batas antarperusahaan juga berpotensi distorsif. Sebuah perusahaan Indonesia dapat menyiasati pajak dengan jalan melakukan kegiatan usaha lewat Singapura; perusahaan tersebut dapat mendirikan kantor di Singapura untuk membeli produknya sendiri dengan murah dan menjualnya kembali untuk keuntungan yang tinggi dan pajak yang lebih rendah melalui Singapura. Kegiatan tersebut akan meningkatkan PDB Singapura.

PDB tidak dapat menjelaskan berapa besar sumber daya alam yang harus diekstrasi atau terdegradasi untuk membiayai pembangunan. Yang dianggap penting dalam persamaan PDB adalah berapa besar pengeluaran tanpa memerdulikan asal pembiayaan, apakah itu dari penggadaian sumber daya alam atau sumber lainnya. Dari sini cukup tersirat bahwa tingkat pertumbuhan diukur tanpa pertimbangan sama sekali terhadap kesinambungannya. Suatu negara dapat saja mencapai PDB yang tinggi melalui eksploitasi besar-besaran sumber daya alamnya. Contoh kontemporernya adalah negara penghasil minyak yang kini menjadi importer minyak.

Sekalipun diandaikan bahwa PDB dapat mengukur hasil produksi nasional secara akurat, satu pertanyaan terpenting adalah: bagaimana halnya dengan distribusi “keuntungan” yang datang bersama pertumbuhan ekonomi? Dalam konteks ini, mungkin ada gunanya membandingkan sebuah negara dengan sebuah perusahaan. Meskipun tampaknya serupa, karakteristik keduanya sangat berbeda. Bagi perusahaan, yang terpenting adalah biaya produksi dan hasil penjualan; segenap kegiatan usahanya diarahkan untuk mencapai satu tujuan: keuntungan, dan distribusi keuntungan merupakan hal yang gamblang berdasarkan kontribusi atau kepemilikan modal. Bagi sebuah negara, tujuan utamanya adalah menciptakan kesejahteraan rakyatnya secara adil; sayangnya, kesejahteraan tersebut biasanya tidak dipandang sebagai profit, baik secara ekonomi maupun secara akunting.

Apabila PDB yang ternyata sarat distorsi ini tidak dapat menangkap kontribusi teknologi dalam meningkatkan kepuasan pengguna barang/jasa, tidak dapat memperhitungkan kesinambungan pertumbuhan, dan tidak dapat menyiratkan bagaimana pendapatan didistribusikan, maka sulit meyakini bahwa instrumen tersebut dapat dipakai untuk mengukur standar hidup atau kesejahteraan masyarakat. Singkat kata, pertumbuhan ekonomi yang diukur dari perubahan nilai PDB riil adalah angka kasar yang jika dipahami secara harfiah dapat menyesatkan, khususnya oleh mereka yang tidak mampu (mau) membedakan penyebab pertumbuhan dan segala konsekuensinya.

Sementara PDB berikut pertumbuhan ekonomi berfungsi sebagai alat ukur yang secara serius sudah terkendala sejak tahap gagasannya, popularitas pemakaiannya justru semakin lama semakin meningkat. Mengutip seorang ekonom Brazil, Anthony Mueller, perekonomian nasional tidak dapat diibaratkan sebagai sebuah labu besar yang ditanam pemerintah yang akan tumbuh matang dan yang ukurannya dapat dipastikan di setiap kwartal bulanan, atau diperbandingkan dari satu musim ke musim berikutnya. Namun, pemahaman simplistik demikianlah yang umumnya beredar, yang dilandasi oleh kekeliruan berpikir mengenai produksi, distribusi, dan penetapan kebijakan ekonomi.

Penutup

Sebagai penutup, tulisan ini ingin mengingatkan bahwa Indonesia tidak memerlukan contoh lain dari negara lain. Jika ada hikmah yang dapat dipetik dari sejarah pembangunan perekonomian kita selama ini, hal tersebut adalah bahwa mengejar pertumbuhan ekonomi dalam pembangunan semata akan semakin menjerumuskan kita ke jurang kemiskinan. Tujuan berbangsa tidak dapat direduksi dalam angka, dan PDB serta pertumbuhan ekonomi, sebagai instrumen tak-sempurna, tidak dapat dijadikan sebagai tujuan.

(***)

4 comments:

Admin said...

Wow..thanks Nad, these two last posts are written by you, "someone who is not an expert"? :-) Yeah...you're doing a great job to hide that. Just teasing...

I do understand better that statistics (numbers) often is very misleading for a lot of things. For example: France, its politicians esp., are very good at using and impressing people with statistics where in fact there's no real changes taken place, but some politicians know how to pull numbers "diffirently" to get the outcome they'd want :-D

Same as PDB then...as a barometer for economics progression/growth, very misleading, isn't it?

Sorry to know that this article was turned down by Kompas before...though it does feel more scholarly :-) Well-written for sure. 'til next time...

Nad said...

i was being serious by saying i'm no expert. kompas knew that;) thanks for the kind words, maya. but pls don't be sorry. i'll keep writing--for the world.

Ujang said...

Dear Nad, anda mungkin tertarik untuk tahu bahwa Kerajaan Bhutan sudah lama mengajukan ide Gross National Happiness untuk menggantikan atau melengkapi konsep GNP. Di kalangan ekonom yang biasa skeptis thdp ide seperti ini, ada juga yang mulai mengembangkan berbagai ukuran subyektif dari well-being, bahkan ada data base seperti ini. Masih jauh dari ideal, tapi ada usaha ke sana. Salam.

Nad said...

Terima kasih! Saya memang tertarik dan sudah pernah mengunjunginya sebelum menulis hal tersebut.

Saya juga tertarik dengan istilah "ekonom skeptis" anda. Harapan saya, suatu hari saya atau anda atau siapalah itu dapat mengulas tentang bagaimana para ekonom memandang dirinya sendiri serta ilmu yang digelutinya.