Mengantarkan pernyataan obyektif menjadi pernyataan normatif, dalam konteks apapun, penuh dengan rintangan filosofis. Posting yang tadinya mau cepat ini tidak bisa mengajak pembaca melalui jalan pintas Nasehat Ekonomi dari yang ”is” menuju yang “ought”. “Peta” mutakhir jalan tersebut dapat ditemukan dalam tulisan Kirzner (2006), Anatomy of Economic Advice (Parts I, II & III). Kirzner memaparkan latar belakang kelahiran ilmu ekonomi sebagai sains; penemuan ”hukum-hukum” ekonomi oleh ekonom klasik; operasi kaidah ekonomi di pasar bebas; “tabiat” pasar bebas; peran kewiraswastaan, dan beberapa kriteria nasehat ekonomi yang baik/buruk.
Penting digarisbawahi, kesimpulan-kesimpulan yang ditarik Kirzner adalah hasil pencarian selama ratusan tahun yang dilakukan para ekonom klasik hingga modern menurut tradisi pemikiran mazhab Austria—mulai dari Carl Menger, Böhm Bawerk, Ludwig von Mises, F. A. Hayek, Murray Rothbard, hingga Israel Kirzner sendiri. Bagi masyarakat Indonesia, yang di tahun 1950-an baru memiliki satu ekonom saja, dan di mana tradisi ekonomi harus diadopsi dari luar terutama dari garis Keynesian dan Friedmanite dengan kiblat Anglo-Saxon-nya terutama Inggris dan Amerika, sudah sewajarnya semua ini”dikritisir”. Konsep ”pasar bebas”, misalnya, tidak sepatutnya hilir-mudik dalam kabin pikiran tanpa dilirik sama sekali, sebab kita semua adalah penumpang dalam gerbong besar kereta yang melaju dalam pasar itu sendiri menuju... apapun itu yang dituju, sebagai seorang individu atau sebuah bangsa.
Kaidah dan Fenomena Ekonomi
Sebagai disiplin paling bungsu, ekonomi tumbuh jadi cabang ilmu pengetahuan di abad 18, saat para ekonom klasik mulai sadar akan adanya pertalian hubungan sebab-akibat yang sistematik dalam fenomena ekonomi. Berdasarkan hal tersebutlah disiplin yang dulu bernama ”political economy” berhasil dibangun abad 18 dan awal abad 19.
Diterimanya ilmu ini berimplikasi revolusioner terhadap kebijakan publik. Sejak saat itu, tidak lagi para pengambil keputusan dapat mengobok-obok perekonomian sekehendak hati, demi ”kebaikan” masyarakat dalam definisi mereka. Sejak saat itu, disadari adanya ”hukum-hukum” ekonomi yang harus dihormati dan dipertimbangkan kecuali jika mereka ingin menuai prahara dan petaka di kemudian hari. Setiap kebijakan ekonomi disadari membawa konsekuensi tertentu, apalagi jika ekonom yang membantu perumusan kebijakan pemerintah bahwa pemerintah bukanlah agen ekonomi yang produktif; bahkan pemerintah tidak memiliki sumber penghasilan selain dengan jalan memajaki, tetapi memiliki kekuasaan ”legal” untuk memaksakan segala kebijakannya. Maka, sebelum tarif dikenakan, sebelum monopoli diberikan kepada individu atau kelompok tertentu, sebelum harga dikontrol, pengambil kebijakan publik harus menanyakan apakah semua konsekuensi yang mungkin terjadi sudah dipertimbangkan masak-masak.
Tapi bagaimana “hukum-hukum” tersebut tercipta? Apa landasannya? Melalui intuisi keteraturan sebab-akibat dalam fenomena ekonomi—seperti dalam fenomena ilmu alam--dapat diamati dan diakui. Tapi ”fenomena” ekonomi adalah hasil pilihan/keputusan/tindakan miliaran individu bebas. Bukankah mustahil semua individu ini mematuhi keteraturan hukum-hukum tersebut, sebab bukankah mereka bebas melakukan pilihan masing-masing? Keberatan-keberatan fundamental seperti itu dialami para teoris dan filosofer selama dua abad terakhir.
Landasan epistemologi ilmu tersebut dan ciri-cirinya dipertanyakan dan hampir tidak ada pemikiran ekonomi yang mau atau mampu menjawab hal-hal fundamental tersebut secara memuaskan. Satu, jika bukan satu-satunya, aliran pemikiran ekonomi yang secara konsisten menaruh perhatian dan memberi tilikan mendalam terhadap kerangka filosofis tersebut adalah mazhab pemikiran Austria, terutama lewat pemikiran eksponen abad duapuluh seperti Mises dan Hayek. Tentu, kontribusi-kontribusi mazhab-mazhab sebelumnya dalam konstruk teoritis mereka tidak patut dinafikan.
Epistemologi ilmu ekonomi dalam pemahaman Austrian berangkat dari aksioma dasar tentang manusia sebagai individu yang bertindak untuk suatu tujuan (end) yang dipilihnya, yang untuk itu manusia harus dapat menentukan dan menggunakan cara (means) yang juga harus dipilihnya, sebab cara sebagai sumber daya tidak selalu tersedia secara given, dan waktu yang juga sumber daya manusia terbatas sifatnya. Uraian lengkap tentang hal ini disampaikan Mises dalam adikaryanya, Human Action. Singkatnya, ilmu ini ternyata berawal dan berakhir dari preferensi dan penilaian manusia.
Dalam kerangka ini, fokus perhatian terletak pada cara sistematik manusia dalam memodifikasi ekspektasi dan pengetahuannya sesuai dengan pengalaman ekonomi dan perubahannya. Berubahnya pengalaman ekonomi memengaruhi aturan main dalam menentukan tujuan dan pilihan. Pengalaman ekonomi mengajarkan individu-individu ini melalui ketepatan dan kesalahan dalam penilaian; dan memungkinkan mereka menangkap peluang baru di masa depan atas sesuatu yang belum ada atau belum pernah terpikirkan sebelumnya. Teori ekonomi dalam kerangka analitik ini mampu memberi manusia pemahaman tentang bagaimana perubahan-perubahan eksogen dalam keterbatasan sumber daya, pengetahuan teknis, dan preferensi individu mengubah fenomena pasar secara sistematis, dan juga menentukan jalannya proses produksi dan pola alokasi sumber daya.
“Hukum” Persediaan dan Permintaan
Kirzner memberi ilustrasi tentang salah satu hukum dasar yang membuat “keteraturan” dalam perekonomian pasar: kaidah persedian dan permintaan, dan pengaruhnya terhadap harga. Pemahaman dasar terhadap perilaku harga di pasar mengidentifikasikan sifat dan arah dari kekuatan-kekuatan yang beroperasi di pasar bagi setiap produk dan sumber daya. Dalam pemahaman ini pasar barang/jasa sebagai selalu dimodifikasi secara sistematis oleh pengalaman pasar. Di setiap waktu komoditas barang/jasa yang tersedia di pasar dapat terlalu banyak atau terlalu sedikit, dan ketidakseimbangan ini selalu menuju titik ekuilibrium. Kaidah dasar ini memfokuskan pada keberadaan kekuatan-kekuatan spontan yang cenderung “memperbaiki” ketidakseimbangan pasar.
Pasar bebas, lebih daripada sekadar tempat, adalah proses sosial pertukaran barang dan jasa secara sukarela. Sedangkan ekuilibrium pasar hanyalah konstruksi imajiner ketika persediaan dan permintaan barang/jasa berada dalam kondisi yang “pas”, di mana tidak ada kecenderungan untuk berubah. Dalam pemahaman ini, kaidah supply-demand tidak berarti bahwa setiap pasar selalu berada dalam keseimbangan. Juga hal tersebut tidak berarti pasar dapat mencapai ekuilibrium secepat kilat. Yang boleh diartikan di sini adalah bahwa pasar selalu bergerak menuju ekuilibrium. Tapi, karena variabel-variabel eksogen selalu berubah, maka titik keseimbangan yang dituju pasar juga selalu berubah. Setiap kali terjadi kelebihan ”pasokan” komoditas/jasa, hal ini akan memberi tekanan yang cenderung menurunkan harga barang/jasa tersebut , dan hal ini selanjutnya mencegah produsen untuk terus memproduksi; sebaliknya, “kelangkaan” barang/jasa akan cenderung mengarah pada kenaikan harganya. Salah satu elemen yang tidak terlalu terlihat tetapi sangat kuat di pasar adalah daya-tanggap para pengusaha. Cepat atau lambat seorang pembeli pasti akan tahu apakah barang yang dibelinya terlalu mahal atau tidak. Penjual dapat menemukan pembeli yang bersedia membeli dengan harga yang lebih tinggi. Kekuatan pasokan dan permintaan beroperasi untuk memperbaiki keputusan-keputusan yang “keliru”.
Ciri Kebijakan Ekonomi yang Baik/Buruk
Dari uraian yang cukup panjang dan berliku di atas dapat disimpulkan bahwa nasehat atau kebijakan ekonomi yang baik adalah yang dapat meningkatkan bekerjanya pasar bebas, misalnya dalam proses pencarian agen-agen ekonomi di pasar bebas; dalam mengurangi ”kesalahan-kesalahan”; dalam merangsang tumbuhnya kewiraswastaan; dalam memfasilitasi inovasi produksi; atau dalam memastikan bahwa pertukaran sukarela dapat dilakukan dengan lebih menguntungkan semua pihak.
Kirzner mengutip Mises menambahkan tiga kriteria kebijakan ekonomi yang buruk sebagai berikut: 1) Kebijakan ekonomi yang dari awal telah diketahui akan gagal: Kebijakan yang dapat ditunjukkan oleh disiplin ekonomi akan menghasilkan akibat yang tidak diinginkan oleh pembuat kebijakan itu sendiri. Salah satu contoh klasik Mises adalah kebijakan untuk mengontrol harga jual tempat tinggal. Analisis ekonomi menunjukkan bahwa kebijakan ini justru akan menghasilkan kelangkaan/kekurangan perumahan.
2) Kebijakan yang tidak sustainable: Kebijakan yang secara inheren mustahil dapat dilaksanakan. Bagi Mises, contohnya adalah kebijakan moneter untuk mengatasi inflasi. Dalam perekonomian pasar yang tidak terkendala, tidak ada siklus boom and bust. Boom and bust, yang oleh sebagian besar orang dianggap penyebab inflasi, hanya terjadi dalam sistem perekonomian yang mendistorsi pasar. Inflasi dalam pengertian kenaikan harga barang secara umum hanyalah satu akibat dari kebijakan moneter pemerintah, bukan akibat pasar. Sejauh pemerintah terus mencetak uang baru dan substitusi uang semacam itu, maka selama itu pula inflasi mustahil diatasi.
3) Kebijakan yang mencederai kedaulatan konsumen: Kebijakan yang menstruktur alokasi sumber daya masyarakat adalah bertentangan dengan dinamika preferensi konsumen. Kebijakan pajak yang membuat konsumen kesulitan membeli barang/jasa, dan yang mengarahkan konsumen ke arah barang/jasa menurut keyakinan legislator termasuk nasehat atau kebijakan yang “buruk” karena mencederai kedaulatan konsumen.
Epilog: Fungsi dan Peran Ekonom
Rothbard dalam Power dan Market menyimpulkan, fungsi ekonom di pasar bebas sangat berbeda dari fungsinya di pasar yang terkendala. Di pasar bebas yang tidak terkendala, ekonom dapat menjelaskan tata dan cara kerja perekonomian. Selain itu, sedikit saja yang dapat ia lakukan. Jika argumentasi bahwa pasar yang bebas adalah oksimoron belaka, atau bahwa di dunia ini nyaris tidak ada lagi pasar yang bebas murni, dipercaya sebagai kebenaran, kiranya hal ini tidak mengurangi kesahihan argumen-argumen
Disiplin ekonomi mampu memperlihatkan akibat-akibat kebijakan yang sulit atau mustahil tertangkap oleh benak awam pengambil kebijakan. Menunjukkan ketidaktahuan konsumen, atau masyarakat, tentang apa-apa yang belum diketahuinya tidak melanggar, melainkan justru meningkatkan, kedaulatan konsumen. Sejauh pemisahan argumen filosofis dan moral ilmu ekonomi ini dipahami dengan baik, disiplin ini dapat dipakai secara werfrei, untuk menginformasikan masyarakat tentang apa yang belum diketahuinya (Rothbard, ibid). Terutama jika ketidaktahuan dapat berdampak serius, seorang ekonom dapat menganggapnya suatu kewajiban moral untuk menyampaikan telaah ilmiahnya kepada masyarakat. Posisi semacam ini dapat ditempuh ekonom dengan penuh semangat, tanpa kehilangan konsistensinya dengan obyektifitas temuan-temuan ilmiahnya yang ”dingin”.
Sebab, berbeda dari dugaan banyak orang, ekonom tidak dapat memprediksi masa depan. Manfaat jasa ekonom bagi pengusaha hanya sedikit saja. Pengusaha justru biasanya memiliki kemampuan forecasting yang lebih superior daripada ekonom. Seandainya ekonom bisa memprediksi, tentu ia akan memilih menjadi pengusaha saja atau bekerja di pasar saham, di mana akurasi akan mendapat ”pahala” berupa keuntungan materil yang besar. Dalam masyarakat bebas, peran murni yang dapat dijalankan seorang ekonom adalah sebagai soko guru masyarakat.
Ketika pasar secara sengaja dikendala oleh unsur-unsur non-pasar atas dasar pemahaman keliru bahwa nilai dan preferensi dapat diobjektifkan dan dapat diagregatkan (mis. secara nasional), maka ”kontribusi” ilmu ekonomi merajalela dan nasehat-nasehat ekonomi pun melimpah ruah, hingga ke titik kontradiktif yang saling meniadakan. Nasehat ekonomi tidak dapat mengklaim diri sebagai kebaikan hanya karena hal tersebut diyakini akan meningkatkan kekayaan agregat, menaikkan kesejahteraan ekonomi secara agregat, atau mengefisienkan alokasi sumber-sumber daya.
(***)