Reform Institute & Reform Review

Kalau tidak ada halangan, Dr Yudi Latif dkk akan meluncurkan penerbitan jurnal Reform Review, besok malam, 22 Mei 2007. Tujuannya menggodok gagasan untuk menyegarkan cita-cita moral bernegara dan berbangsa, melalui Reform Institute yang digagasnya.

Dalam fitur di sebuah surat kabar dituliskan pandangan Yudi Latif bahwa Indonesia lahir sebagai sebuah nation-state, bukan state-nation, berkat kekuatan ide dan rasa persatuan sebagai bentuk perlawanan terhadap kolonialisme dan atas dasar civic nationalism. Sayangnya, menurut Yudi, setelah kemerdekaan Indonesia dicapai, bangsa ini kehilangan pijakannya hingga menuju kepada kegagalan negara.

“Setelah kepentingan bersama menghadapi kolonial berlalu, kita kehilangan kepentingan moral baru yang mempersatukan masyarakat. Kita tidak menemukan kesamaan tematik, agenda, atau blok historis bersama. Kepemimpinan moral dan intelektual sekarang ini hancur. Para politisi kemudian kembali bermain di level rendah, yaitu politik atau ekonomi. Orang saling rebut ekses atau saling menyudutkan antargolongan atau agama….”

“Itu terjadi akibat tidak ada lagi intelektual organik yang bisa mengartikulasikan kesadaran kolektif. Partai politik (parpol) tidak memunculkan kepemimpinan yang bisa menyuarakan sesuatu yang lebih besar dari kepentingan dirinya sendiri...” Dst.

Selamat kepada Reform Institute!

Batas-Batas Nasehat Ekonomi (Bag. 2 - Tamat)

Mengantarkan pernyataan obyektif menjadi pernyataan normatif, dalam konteks apapun, penuh dengan rintangan filosofis. Posting yang tadinya mau cepat ini tidak bisa mengajak pembaca melalui jalan pintas Nasehat Ekonomi dari yang ”is” menuju yang “ought”. “Peta” mutakhir jalan tersebut dapat ditemukan dalam tulisan Kirzner (2006), Anatomy of Economic Advice (Parts I, II & III). Kirzner memaparkan latar belakang kelahiran ilmu ekonomi sebagai sains; penemuan ”hukum-hukum” ekonomi oleh ekonom klasik; operasi kaidah ekonomi di pasar bebas; “tabiat” pasar bebas; peran kewiraswastaan, dan beberapa kriteria nasehat ekonomi yang baik/buruk.

Penting digarisbawahi, kesimpulan-kesimpulan yang ditarik Kirzner adalah hasil pencarian selama ratusan tahun yang dilakukan para ekonom klasik hingga modern menurut tradisi pemikiran mazhab Austria—mulai dari Carl Menger, Böhm Bawerk, Ludwig von Mises, F. A. Hayek, Murray Rothbard, hingga Israel Kirzner sendiri. Bagi masyarakat Indonesia, yang di tahun 1950-an baru memiliki satu ekonom saja, dan di mana tradisi ekonomi harus diadopsi dari luar terutama dari garis Keynesian dan Friedmanite dengan kiblat Anglo-Saxon-nya terutama Inggris dan Amerika, sudah sewajarnya semua ini”dikritisir”. Konsep ”pasar bebas”, misalnya, tidak sepatutnya hilir-mudik dalam kabin pikiran tanpa dilirik sama sekali, sebab kita semua adalah penumpang dalam gerbong besar kereta yang melaju dalam pasar itu sendiri menuju... apapun itu yang dituju, sebagai seorang individu atau sebuah bangsa.

Kaidah dan Fenomena Ekonomi


Sebagai disiplin paling bungsu, ekonomi tumbuh jadi cabang ilmu pengetahuan di abad 18, saat para ekonom klasik mulai sadar akan adanya pertalian hubungan sebab-akibat yang sistematik dalam fenomena ekonomi. Berdasarkan hal tersebutlah disiplin yang dulu bernama ”political economy” berhasil dibangun abad 18 dan awal abad 19.

Diterimanya ilmu ini berimplikasi revolusioner terhadap kebijakan publik. Sejak saat itu, tidak lagi para pengambil keputusan dapat mengobok-obok perekonomian sekehendak hati, demi ”kebaikan” masyarakat dalam definisi mereka. Sejak saat itu, disadari adanya ”hukum-hukum” ekonomi yang harus dihormati dan dipertimbangkan kecuali jika mereka ingin menuai prahara dan petaka di kemudian hari. Setiap kebijakan ekonomi disadari membawa konsekuensi tertentu, apalagi jika ekonom yang membantu perumusan kebijakan pemerintah bahwa pemerintah bukanlah agen ekonomi yang produktif; bahkan pemerintah tidak memiliki sumber penghasilan selain dengan jalan memajaki, tetapi memiliki kekuasaan ”legal” untuk memaksakan segala kebijakannya. Maka, sebelum tarif dikenakan, sebelum monopoli diberikan kepada individu atau kelompok tertentu, sebelum harga dikontrol, pengambil kebijakan publik harus menanyakan apakah semua konsekuensi yang mungkin terjadi sudah dipertimbangkan masak-masak.

Tapi bagaimana “hukum-hukum” tersebut tercipta? Apa landasannya? Melalui intuisi keteraturan sebab-akibat dalam fenomena ekonomi—seperti dalam fenomena ilmu alam--dapat diamati dan diakui. Tapi ”fenomena” ekonomi adalah hasil pilihan/keputusan/tindakan miliaran individu bebas. Bukankah mustahil semua individu ini mematuhi keteraturan hukum-hukum tersebut, sebab bukankah mereka bebas melakukan pilihan masing-masing? Keberatan-keberatan fundamental seperti itu dialami para teoris dan filosofer selama dua abad terakhir.

Landasan epistemologi ilmu tersebut dan ciri-cirinya dipertanyakan dan hampir tidak ada pemikiran ekonomi yang mau atau mampu menjawab hal-hal fundamental tersebut secara memuaskan. Satu, jika bukan satu-satunya, aliran pemikiran ekonomi yang secara konsisten menaruh perhatian dan memberi tilikan mendalam terhadap kerangka filosofis tersebut adalah mazhab pemikiran Austria, terutama lewat pemikiran eksponen abad duapuluh seperti Mises dan Hayek. Tentu, kontribusi-kontribusi mazhab-mazhab sebelumnya dalam konstruk teoritis mereka tidak patut dinafikan.

Epistemologi ilmu ekonomi dalam pemahaman Austrian berangkat dari aksioma dasar tentang manusia sebagai individu yang bertindak untuk suatu tujuan (end) yang dipilihnya, yang untuk itu manusia harus dapat menentukan dan menggunakan cara (means) yang juga harus dipilihnya, sebab cara sebagai sumber daya tidak selalu tersedia secara given, dan waktu yang juga sumber daya manusia terbatas sifatnya. Uraian lengkap tentang hal ini disampaikan Mises dalam adikaryanya, Human Action. Singkatnya, ilmu ini ternyata berawal dan berakhir dari preferensi dan penilaian manusia.

Dalam kerangka ini, fokus perhatian terletak pada cara sistematik manusia dalam memodifikasi ekspektasi dan pengetahuannya sesuai dengan pengalaman ekonomi dan perubahannya. Berubahnya pengalaman ekonomi memengaruhi aturan main dalam menentukan tujuan dan pilihan. Pengalaman ekonomi mengajarkan individu-individu ini melalui ketepatan dan kesalahan dalam penilaian; dan memungkinkan mereka menangkap peluang baru di masa depan atas sesuatu yang belum ada atau belum pernah terpikirkan sebelumnya. Teori ekonomi dalam kerangka analitik ini mampu memberi manusia pemahaman tentang bagaimana perubahan-perubahan eksogen dalam keterbatasan sumber daya, pengetahuan teknis, dan preferensi individu mengubah fenomena pasar secara sistematis, dan juga menentukan jalannya proses produksi dan pola alokasi sumber daya.

“Hukum” Persediaan dan Permintaan

Kirzner memberi ilustrasi tentang salah satu hukum dasar yang membuat “keteraturan” dalam perekonomian pasar: kaidah persedian dan permintaan, dan pengaruhnya terhadap harga. Pemahaman dasar terhadap perilaku harga di pasar mengidentifikasikan sifat dan arah dari kekuatan-kekuatan yang beroperasi di pasar bagi setiap produk dan sumber daya. Dalam pemahaman ini pasar barang/jasa sebagai selalu dimodifikasi secara sistematis oleh pengalaman pasar. Di setiap waktu komoditas barang/jasa yang tersedia di pasar dapat terlalu banyak atau terlalu sedikit, dan ketidakseimbangan ini selalu menuju titik ekuilibrium. Kaidah dasar ini memfokuskan pada keberadaan kekuatan-kekuatan spontan yang cenderung “memperbaiki” ketidakseimbangan pasar.

Pasar bebas, lebih daripada sekadar tempat, adalah proses sosial pertukaran barang dan jasa secara sukarela. Sedangkan ekuilibrium pasar hanyalah konstruksi imajiner ketika persediaan dan permintaan barang/jasa berada dalam kondisi yang “pas”, di mana tidak ada kecenderungan untuk berubah. Dalam pemahaman ini, kaidah supply-demand tidak berarti bahwa setiap pasar selalu berada dalam keseimbangan. Juga hal tersebut tidak berarti pasar dapat mencapai ekuilibrium secepat kilat. Yang boleh diartikan di sini adalah bahwa pasar selalu bergerak menuju ekuilibrium. Tapi, karena variabel-variabel eksogen selalu berubah, maka titik keseimbangan yang dituju pasar juga selalu berubah. Setiap kali terjadi kelebihan ”pasokan” komoditas/jasa, hal ini akan memberi tekanan yang cenderung menurunkan harga barang/jasa tersebut , dan hal ini selanjutnya mencegah produsen untuk terus memproduksi; sebaliknya, “kelangkaan” barang/jasa akan cenderung mengarah pada kenaikan harganya. Salah satu elemen yang tidak terlalu terlihat tetapi sangat kuat di pasar adalah daya-tanggap para pengusaha. Cepat atau lambat seorang pembeli pasti akan tahu apakah barang yang dibelinya terlalu mahal atau tidak. Penjual dapat menemukan pembeli yang bersedia membeli dengan harga yang lebih tinggi. Kekuatan pasokan dan permintaan beroperasi untuk memperbaiki keputusan-keputusan yang “keliru”.

Ciri Kebijakan Ekonomi yang Baik/Buruk

Dari uraian yang cukup panjang dan berliku di atas dapat disimpulkan bahwa nasehat atau kebijakan ekonomi yang baik adalah yang dapat meningkatkan bekerjanya pasar bebas, misalnya dalam proses pencarian agen-agen ekonomi di pasar bebas; dalam mengurangi ”kesalahan-kesalahan”; dalam merangsang tumbuhnya kewiraswastaan; dalam memfasilitasi inovasi produksi; atau dalam memastikan bahwa pertukaran sukarela dapat dilakukan dengan lebih menguntungkan semua pihak.

Kirzner mengutip Mises menambahkan tiga kriteria kebijakan ekonomi yang buruk sebagai berikut: 1) Kebijakan ekonomi yang dari awal telah diketahui akan gagal: Kebijakan yang dapat ditunjukkan oleh disiplin ekonomi akan menghasilkan akibat yang tidak diinginkan oleh pembuat kebijakan itu sendiri. Salah satu contoh klasik Mises adalah kebijakan untuk mengontrol harga jual tempat tinggal. Analisis ekonomi menunjukkan bahwa kebijakan ini justru akan menghasilkan kelangkaan/kekurangan perumahan.

2) Kebijakan yang tidak sustainable: Kebijakan yang secara inheren mustahil dapat dilaksanakan. Bagi Mises, contohnya adalah kebijakan moneter untuk mengatasi inflasi. Dalam perekonomian pasar yang tidak terkendala, tidak ada siklus boom and bust. Boom and bust, yang oleh sebagian besar orang dianggap penyebab inflasi, hanya terjadi dalam sistem perekonomian yang mendistorsi pasar. Inflasi dalam pengertian kenaikan harga barang secara umum hanyalah satu akibat dari kebijakan moneter pemerintah, bukan akibat pasar. Sejauh pemerintah terus mencetak uang baru dan substitusi uang semacam itu, maka selama itu pula inflasi mustahil diatasi.

3) Kebijakan yang mencederai kedaulatan konsumen: Kebijakan yang menstruktur alokasi sumber daya masyarakat adalah bertentangan dengan dinamika preferensi konsumen. Kebijakan pajak yang membuat konsumen kesulitan membeli barang/jasa, dan yang mengarahkan konsumen ke arah barang/jasa menurut keyakinan legislator termasuk nasehat atau kebijakan yang “buruk” karena mencederai kedaulatan konsumen.

Epilog: Fungsi dan Peran Ekonom

Rothbard dalam Power dan Market menyimpulkan, fungsi ekonom di pasar bebas sangat berbeda dari fungsinya di pasar yang terkendala. Di pasar bebas yang tidak terkendala, ekonom dapat menjelaskan tata dan cara kerja perekonomian. Selain itu, sedikit saja yang dapat ia lakukan. Jika argumentasi bahwa pasar yang bebas adalah oksimoron belaka, atau bahwa di dunia ini nyaris tidak ada lagi pasar yang bebas murni, dipercaya sebagai kebenaran, kiranya hal ini tidak mengurangi kesahihan argumen-argumen

Disiplin ekonomi mampu memperlihatkan akibat-akibat kebijakan yang sulit atau mustahil tertangkap oleh benak awam pengambil kebijakan. Menunjukkan ketidaktahuan konsumen, atau masyarakat, tentang apa-apa yang belum diketahuinya tidak melanggar, melainkan justru meningkatkan, kedaulatan konsumen. Sejauh pemisahan argumen filosofis dan moral ilmu ekonomi ini dipahami dengan baik, disiplin ini dapat dipakai secara werfrei, untuk menginformasikan masyarakat tentang apa yang belum diketahuinya (Rothbard, ibid). Terutama jika ketidaktahuan dapat berdampak serius, seorang ekonom dapat menganggapnya suatu kewajiban moral untuk menyampaikan telaah ilmiahnya kepada masyarakat. Posisi semacam ini dapat ditempuh ekonom dengan penuh semangat, tanpa kehilangan konsistensinya dengan obyektifitas temuan-temuan ilmiahnya yang ”dingin”.

Sebab, berbeda dari dugaan banyak orang, ekonom tidak dapat memprediksi masa depan. Manfaat jasa ekonom bagi pengusaha hanya sedikit saja. Pengusaha justru biasanya memiliki kemampuan forecasting yang lebih superior daripada ekonom. Seandainya ekonom bisa memprediksi, tentu ia akan memilih menjadi pengusaha saja atau bekerja di pasar saham, di mana akurasi akan mendapat ”pahala” berupa keuntungan materil yang besar. Dalam masyarakat bebas, peran murni yang dapat dijalankan seorang ekonom adalah sebagai soko guru masyarakat.

Ketika pasar secara sengaja dikendala oleh unsur-unsur non-pasar atas dasar pemahaman keliru bahwa nilai dan preferensi dapat diobjektifkan dan dapat diagregatkan (mis. secara nasional), maka ”kontribusi” ilmu ekonomi merajalela dan nasehat-nasehat ekonomi pun melimpah ruah, hingga ke titik kontradiktif yang saling meniadakan. Nasehat ekonomi tidak dapat mengklaim diri sebagai kebaikan hanya karena hal tersebut diyakini akan meningkatkan kekayaan agregat, menaikkan kesejahteraan ekonomi secara agregat, atau mengefisienkan alokasi sumber-sumber daya.
(***)

Batas-Batas Nasehat Ekonomi

Beberapa waktu lalu warga di kampung kami mengadakan rapat. Tujuannya, mencari solusi terbaik agar anak-anak bisa bermain (mis. main sepeda) dengan lebih leluasa dan aman. Soalnya, rumah kami terletak di jalan buntu dan mulut jalan buntu kami berhadapan langsung dengan jalan raya yang ramai. Beberapa tetangga usul, agar jalan kami diaspal; biayanya akan ditanggung secara urunan. Ada juga gagasan untuk memasang polisi tidur, persisnya di sebelah kanan jalan raya, kurang-lebih 5 meter dari mulut jalan ke rumah kami.

Tentang aspal, kebanyakan dari kami yang hadir setuju—termasuk saya. Tapi ada juga yang tidak. Setelah ditanyakan kepada satu keluarga yang tidak setuju, kami kemudian paham bahwa sebenarnya mereka tidak keberatan. Mereka cuma tidak dapat berjanji bisa ikut urunan minggu depan, ketika rencana warga ini akan diwujudkan.

Tentang polisi tidur, nah ini cukup menarik. Ternyata konstelasi :p) warga terbagi menjadi dua kubu antara mereka yang setuju dan yang tidak. Saya termasuk kelompok kedua; tapi perlu saya tambahkan, posisi ini tidak berarti saya tidak memahami warga yang menginginkan polisi tidur.

Seminggu kemudian, jalan buntu di depan rumah kami pun beraspal. Tanpa bantuan pemerintah (!), walau saya yakin hampir semua orang di lingkungan kami belum pernah baca The Cartel of Good Intention-nya Easterly. Tapi polisi tidur tidak dipasang. Selain karena tidak ada kesepakatan, ternyata bikin jalanan beraspal tidak murah, bo.

*
Walau sederhana, kasus nyata di atas rasanya mengandung banyak isu multidisipliner; di dalamnya ada dimensi politik, hukum, psikologi, etika, matematika, ekonomi, dll. Yang mau saya angkat sebagai fokus tulisan ini adalah yang terakhir: isu ekonomi, terutama yang ada hubungannya dengan penilaian individu. Posting ini masih menyerempet fokus dalam dua posting saya terdahulu, yaitu tentang preferensi dan sifat bebas-nilai ilmu ekonomi. Keterserempetan ini adalah modal yang cukup memotivasi:p)

Dalam posting tentang preferensi, kesimpulan yang saya tarik adalah: sebelum orang dapat menjatuhkan pilihan tertentu, perlu ada preferensi terlebih dahulu. Jika ditelusuri terus ke belakang, dapat dikatakan bahwa preferensi mengharuskan adanya ”pengetahuan”, setidak-tidaknya terhadap dua aspek yang berbeda dari sebuah objek atau lebih. Lalu, pengetahuan itu sendiri kita peroleh dari pengalaman, pendidikan, pemikiran deduktif/induktif, indoktrinasi, dll.

Sayangnya--dan juga untungnya, ”pengetahuan” yang dibutuhkan tidak selalu tersedia. Kenyataan ini gampang diterima, sebab tidak ada manusia yang tahu segala hal. Dalam kondisi demikian, preferensi dipastikan tidak dapat terbentuk. Tambahan pula, karena ”pengetahuan” dapat berubah bersama waktu, maka demikian pula preferensi. Jadi dapat disimpulkan bahwa prefensi, dalam pemikiran ekonomi, sifatnya spesifik; dia mengacu pada pilihan-pilihan pada suatu titik waktu tertentu.

Saat orang tidak punya preferensi atau tidak berhasil ”mengerahkannya”, maka di saat itu ia tidak bisa mengambil satu pilihan tertentu. Ia akan netral, indifferent, atau semata-mata bingung. Pilihan yang mana yang akhirnya diambil, jika diambil, akan menghasilkan tingkat kepuasan—atau tingkat kekecewaan--yang sama. Jika orang tersebut lempar koin atau minta nasehat orang lain untuk menetapkan pilihannya, itu sah-sah saja. Tapi mengapa dan bagaimana orang menentukan kandungan pilihannya atau mengatasi dilemanya bukan urusan ekonom. Yang menjadi ”data” bagi ekonom adalah pilihan yang diambil orang tersebut, sebagaimana didemonstrasikan melalui pilihan yang akhirnya diambil olehnya.

Tingkat kepuasan (kekecewaan) ini subyektif dan tergantung pada skedul nilai seseorang. Skedul nilai tidak lain adalah skedul preferensi itu sendiri, fitur kompleks manusiawi yang menyatu dengan pusat semesta keberadaan seseorang, apapun itu namanya. Dalam contoh di RT kami, dalam skedul nilai saya pribadi, jalan beraspal saya tempatkan dalam urutan yang lebih tinggi daripada polisi tidur, tetapi saya tidak bisa menguantifikasi seberapa kali lebih besar nilai aspal dibandingkan dengan nilai polisi tidur. Saya juga tidak punya dasar untuk melakukan aproksimasi berapa nilai moneter kompensasi yang pas agar saya nrimo jalanan tanpa aspal (kalaupun ada yang mau membayar). Dari sini dapat disimpulkan satu ciri skedul nilai, tingkat kepuasan dalam sistem skedul nilai seseorang tidak bisa dikalkulasikan secara kardinal, dan tidak selalu bersifat numerikal, ataupun diubah secara obyektif menjadi numerikal, mis. dalam satuan moneter.

Pada titik ini, dalam perkembangan pemikiran ekonomi terdapat perbedaan mendasar seputar teori nilai/utilitas. Pandangan populer menerima subyektivitas tetapi menolak ketidak-bisaan-dalam-mengkuantifikasikannya. Dalam pandangan ini, semuanya (harus) dapat diukur; paling tidak diagregatkan. Milton Friedman, misalnya, pernah bilang bahwa salah satu tugas sains adalah untuk mengukur. Beberapa buku teks memperkenalkan istilah util untuk mengukur utilitas atau manfaat sebuah benda/jasa. Tapi gerangan apakah benda ini, hingga sekarang masih dicari.

Jika pemahaman saya terhadap ekonomi ini tepat, maka teori utilitas dan nilai yang subyektif ini sungguh amat penting sekali; mungkin yang terpenting setelah ilmu ini berhasil menyarikan hukum ekonomi terhadap suplai dan demand.

Anyways, sementara si-util hingga kini masih harus ditemukan, aplikasi ekonomi terus merambah ke mana-mana. Hampir tidak ada aspek kehidupan yang luput. Ilmu ekonomi sudah terlanjur dianggap, secara sembrono dan keliru saya kira, sebagai Ratu atau Dewa (atau Kerispatih atau Gigi) ilmu sosial. Dugaan saya, ini akibat tameng identitas atau pemodelan matematis, yang jika semakin rumit, akan dianggap semakin canggih. Tapi yang saya percaya, perambahan ekonomi ke semua bidang adalah hal wajar, sebab ekonomi pada hakikatnya adalah ilmu kajian tentang pilihan-pilihan manusia, yang berangkat dari satu aksioma universal bahwa manusia adalah makhluk yang bertindak secara sadar atas suatu pilihan tujuan.

Tapi, sebetulnya sejauh apa ilmu ini bisa memberi tilikan ataupun masukan yang memengaruhi pilihan atau preferensi manusia? Teori ekonomi apa yang bisa dipakai untuk mengobyektifkan keadaan bahwa warga di RT kami sebaiknya (tidak) memasang polisi tidur di dekat kompleks kami? Argumen ekonomis-ilmiah apa yang dapat disampaikan ekonom kepada seorang anak tetangga yang tidak suka makan mangga untuk mengubah preferensinya?

Jawabannya, cukup mengejutkan: hampir tidak ada. Sebab serupa dengan semua ilmu pengetahuan lain yang obyektif, pengetahuan ekonomi paling banter bertugas untuk mendeskripsikan hal-hal obyektif dan hubungan-hubungan serta konsekuensi-konsekuensi logis, terutama yang ”tidak terlihat” secara seketika atau dalam jangka pendek, dari atau terhadap satu dan lain hal. Ketika seorang ekonom mencoba menarik kesimpulan obyektif untuk sesuatu yang subyektif melalui argumen ekonomi, baik dengan bantuan ”modeling” ataupun metode ”saintistik”, maka hampir dapat dipastikan ia akan melakukannya secara tidak sah. Jika nalar ekonominya membuat sang ekonom bersikap pro terhadap polisi tidur dan menurutnya orang lain seharusnya juga demikian, ia tidak dapat mengubah yang ”is” menjadi ”ought”.

Subyektivitas nilai dan obyektivitas disiplin ekonomi adalah dua perkara berbeda. Barangkali, dengan keterbatasan disiplin ekonomi, hal pertama yang harus disampaikan seorang ekonom ketika terjadi benturan dua hal berbeda tersebut adalah menyampaikan apa yang tidak dapat dilakukannya. Jika ia melakukannya, ia berpeluang tergelincir ke dalam upaya moralizing secara implisit; maksudnya, ia mungkin tanpa disadarinya akan lebih menggunakan argumen moral daripada argumen ekonomi.

Pada titik ini, jika anda merasakan apa yang saya rasakan, ilmu ekonomi terasa ”dingin” sekali. Tidak dapatkah ilmu ekonomi memberi kita dasar pemikiran untuk menyampaikan suatu nasehat tentang hal-hal baik yang berterima secara umum dan obyektif? Bukankah pengetahuan dan pemahaman ekonomi menjadi bernilai tidak bagi ilmu itu sendiri, melainkan atas manfaatnya dalam membantu manusia menjawab kebutuhan-kebutuhan praktis?

Ekonomi tidak harus sedingin itu? OK. Di bagian selanjutnya saya akan coba bahas hal ini.

(Bersambung)